Nama :
FIFI ELLIN
NPM :
12210769
Kelas :
4EA13
KASUS
MENGENAI HAK PEKERJA
Hak Pekerja Perempuan Masih
Terabaikan
Koalisi
yang terdiri dari serikat pekerja dan LSM menilai perlindungan hak pekerja
perempuan masih minim. Pekerja perempuan masih kerap menerima tindakan
kekerasan dan pelecahan yang dilakukan atasannya.
Anggota
Koalisi dari Kalyanamitra, Rena Herdiyani, hal itu menimpa tak hanya pekerja
yang bekerja di Indonesia tapi juga di luar negeri (TKI). Ia memperkirakan ada
70 persen dari 80ribu pekerja perempuan mengalami pelecehan seksual.
Menurut
Rena, hal itu terjadi karena ketidakseimbangan relasi kekuasaan antara
pengusaha dan pekerja. Walau adaSurat EdaranMenakertrans No 03 Tahun 2011
tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual, namun pelaksanaannya dirasa belum
memuaskan. "Belum ada perkembangannya sejauh mana terimplementasi,"
katanya dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Senin (29/4).
Anggota
Koalisiyang laindari Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Wa Ampi, mengatakan di
kawasan industri di KBN Cakung Jakarta, mayoritas pekerja perempuan pengetahuannya
atas hak masih minim. Akibatnya, para pekerja tak tahu kalau tindakan yang
dilakukan atasannya tergolong pelecehan seksual atau diskriminasi terhadap
perempuan.
Kasus
yang banyak terjadi yaitu pekerja perempuan dirayu atasannya untuk diajak berkencan
dengan iming-iming diangkat menjadi pekerja tetap. Sebagai upaya memberi
pemahaman atas hak pekerja perempuan sebagaimana diatur dalam UU
Ketenagakerjaan dan peraturan lainnya, Ampi menyebut FBLP membentuk komite yang
bertugas memberi pemahaman itu kepada pekerja perempuan. "Di KBN Cakung 90
persen pekerja terdiri dari perempuan," tuturnya.
Selaras
dengan itu Ampi mendesak pemerintah untuk menggalakkan sosialisasi kepada
perusahaan-perusahaan tentang hak pekerja perempuan.Misalnya hak pekerja perempuan
untuk mendapat angkutan khusus bila bekerja hingga larut malam karena lembur.
Di
sisi lain, Ampi berpendapat mestinya perusahaan yang bersangkutan menjamin
keselamatan pekerjanya sampai ke rumah dengan cara menyediakan angkutan. Selain
itu perlu juga diberikan pemahaman kepada pekerja bagaimana mencegah terjadinya
tindak kekerasan, pelecehan seksual dan diskriminasi di tempat kerja.
Senada,
anggota koalisi dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Devi
Fitriana, melihat masih banyak perusahaan yang belum memenuhi hak pekerja
perempuan. Misalnya, menyediakan ruangan khusus menyusui di tempat kerja. Ada
pula perusahaan yang memutus hubungan kerja (PHK) seorang pekerja perempuan
yang mengidap HIV/AIDS.
Selain
itu Devi menilai pemerintah perlu membuat kebijakan yang mewajibkan perusahaan
yang pekerjanya mayoritas perempuan untuk menyediakan klinik khusus. Misalnya,
menyediakan tenaga medis khusus bidang kesehatan reproduksi perempuan dan
bidan. Pasalnya, kesehatan reproduksi perempuan harus dijaga karena tergolong
rentan. "Jadi pekerja perempuan bisa optimal dalam bekerja," ucapnya.
Sedangkan
anggota koalisi dari AJI Jakarta, Anastasia Lilin, menyoroti PHK sepihak yang
menimpa pekerja perempuan di lima perusahaan media. Ia menyebut perusahaan media
tak luput dari masalah ketenagakerjaan. Selain PHK sepihak, diskriminasi
terhadap pekerja perempuan sering terjadi. Misalnya, pekerja perempuan sulit
menduduki jabatan strategis di perusahaan media. Akibatnya, produk-produk media
masih didominasi perspektif kaum lelaki.
Soal
penata laksana rumah tangga (PLRT), anggota koalisi dari Mitra Imadei, Inke
Maris, mengatakan banyak anak-anak berusia 12-17 tahun bekerja di jenis
pekerjaan itu. Ironisnya, pekerjaan yang dilakukan bukan hanya satu jenis, tapi
banyak, mulai dari membereskan rumah, menjaga toko sampai mengurus anak
majikan. Secara umum pekerjaan yang banyak itu kerap dilakukan oleh PLRT.
Mengingat PLRT didominasi oleh perempuan, Inke mengatakan perlindungan
pemerintah terhadap mereka sangat minim. Terutama PLRT yang masih berusia
anak-anak. “Hak anak tidak mereka dapatkan seperti pendidikan dan bermain,”
tukasnya.
Tak
ketinggalan, anggota koalisi dari Migrant Care, Bariyah, mengatakan Indonesia
termasuk negara pengirim pekerja migran terbesar. Dari seluruh pekerja migran
asal Indonesia sekitar 70 persennya berjenis kelamin perempuan. Oleh karenanya,
ketika ada persoalan yang menimpa pekerja migran, secara langsung bersinggungan
dengan nasib perempuan. Sampai akhir 2012 Migrant Care mencatat ada 420 pekerja
migran terancam hukuman mati. Salah satunya pekerja migran asal Semarang, Jawa
Tengah, Satinah. Begitu pula dengan nasib tragis seorang pekerja migran yang
diperkosa beramai-ramai oleh polisi Malaysia.
Mengacu
berbagai persoalan pekerja migran itu Bariyah mengatakan pemerintah lamban
dalam melakukan bantuan hukum. Misalnya, untuk kasus Satinah, Bariyah menyebut
untuk menyelesaikannya pemerintah menyewa pengacara. Padahal, Bariyah
memperkirakan hal itu tak cukup karena butuh diplomasi tingkat tinggi dengan
kerajaan Arab Saudi untuk menuntaskan masalah tersebut. Hal lain yang
disayangkan Bariyah, terjadinya iklan TKI di Malaysia yang intinya memberi
potongan harga untuk pengguna jasa TKI.
Melihat
fakta tersebut Bariyah berkesimpulan pemerintah belum serius melakukan
perlindungan untuk pekerja migran. Khususnya mengimplementasikan UU No.16 Tahun
2012 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak
Pekerja Migran dan Keluarganya. Akibatnya, perspektif pengelolaan pekerja
migran yang dilakukan pemerintah cenderung mengarahkan pekerja migran hanya
sebatas komoditas. Untuk memperbaiki hal tersebut Bariyah mengatakan Migrant
Care berkomitmen mengawal pembahasan RUU PPILN yang saat ini sedang digodok di
DPR. “Agar catatan hitam (kasus-kasus,-red) pekerja migran bisa terus menurun,”
urainya.
Terpisah,
Ketua bidang UKM, Wanita Pengusaha, Wanita Pekerja, Gender dan Sosial APINDO,
Nina Tursinah, mengatakan sebagai organisasi pengusaha, APINDO membantu
pemerintah melakukan sosialisasi tentang hak pekerja perempuan ke berbagai
perusahaan. Untuk perusahaan berskala besar, Nina menyebut APINDO tak mendapat
kesulitan dalam melakukan kegiatan sosialisasi tersebut.
Tapi,
jika dijumpai terdapat perusahaan besar yang belum memenuhi hak pekerja
perempuan seperti menyediakan angkutan khusus bagi pekerja yang pulang larut
malam dan ruang menyusui menurutnya itu bukan sebuah kesengajaan. Namun, secara
umum Nina mengatakan perusahaan skala besar cenderung sudah memenuhi hak
pekerja perempuan sebagaimana diamanatkan peraturan yang ada dengan cukup baik.
Untuk
industri di bidang Usaha Kecil Menengah (UKM), Nina mengatakan APINDO mengalami
kesulitan melakukan sosialisasi. Pasalnya, sektor industri UKM sangat luas dan
menyebar sampai ke daerah. Untuk memaksimalkan kegiatan itu Nina berharap
pemerintah, khususnya Kemenakertrans membantu melakukan sosialisasi. Kendala
lain yang kerap dijumpai dalam menyosialisasikan hak pekerja perempuan di
industri UKM diantaranya berkaitan dengan terbatasnya ruangan untuk menyediakan
tempat khusus untuk menyusui serta keterbatasan kemampuan untuk menyediakan
transportasi.
Walau
sudah melakukan kewajibannya untuk melakukan sosialisasi, namun Nina mengakui
kegiatan tersebut belum dilakukan APINDO secara maksimal. Atas dasar itu, Nina
mengimbau kepada seluruh pemangku kepentingan agar berbarengan mengkampanyekan
pentingnya pemenuhan hak pekerja perempuan. “Memang kami belum lakukan
sosialisasi secara maksimal, itu tugas kita bersama,” pungkasnya
KASUS MENGENAI IKLAN YANG TIDAK ETIS
Persaingan Yang Dilakukan
Antar Operator Selular Kartu As (Simpati) Dan Xl
Beberapa
tahun lalu, sebuah iklan Kartu AS yang diiklankan oleh Sule di televisi. Dalam
iklan tersebut, ia tampil seolah-olah sedang diwawancarai oleh wartawan.
Kemudian ia selanjutnya berkomentar, ”Saya kapok dibohongin sama anak kecil,”
ujar Sule yang disambut dengan tertawa para wartawan, dalam penampilan
iklannya.
Padahal
dalam iklan yang memakai Sule sebagai model langsung teringat iklan Kartu XL
yang juga dibintangi Sule juga bersama Baim dan Putri Titian. Terjadilah dialog
antara Sule dan Baim. “Gimana Im, Om Sule ganteng khan?” tanya Sule. “Jelek!”
jawab Baim memperlihatkan muka polosnya. Kemudian Sule memberikan dua buah
makanan kepada Baim dengan harapan Baim akan mengatakan ‘Sule ganteng’.
Namun
Baim masih menjawab apa ada seperti jawaban sebelumnya. “Dari pertama, Om Sule
itu jelek. Dari pertama kalau Rp. 25,- XL, murahnya beneran.” jawab Baim lagi,
dan seterusnya.
Satu
orang muncul dalam dua penampilan iklan yang merupakan satu produk sejenis yang
saling bersaing, dalam waktu yang hampir bersamaan. Jeda waktu aku menonton
penampilan Sule dalam iklan di XL dan AS tidak terlalu jauh bahkan hanya dalam
hitungan hari. Ada sebagian orang yang berpendapat apa yang dilakukan oleh Sule
tidak etis dalam dunia periklanan. Mereka menyoroti peran Sule yang menjadi
‘kutu loncat’ ala tokoh parpol yang secara cepat berpindah kepada pelaku iklan
lain yang merupakan kompetitornya. Sebagian lain berpendapat, sah-sah aja.
Namun
pada prinsipnya, sebuah tayangan iklan di televisi (khususnya) harus patuh pada
aturan-aturan perundang-undangan yang bersifat mengikat serta taat dan tunduk
pada tata krama iklan yang sifatnya memang tidak mengikat.
Contoh
Perang Iklan XL vs Telkomsel di billboard Medan
Di
dalam EPI juga diberikan beberapa prinsip tentang keterlibatan anak-anak di
bawah umur -apalagi Balita- seperti antara lain:
· Anak-anak
tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi
oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
· Iklan
tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan adegan yang berbahaya,
menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.
· Iklan
tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu
produk yang bukan untuk anak-anak.
· Iklan
tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek (pester power)
anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk mengabulkan permintaan
anakanak mereka akan produk terkait (lihat halaman 34 EPI).
Manipulasi
yang dimaksudkan disini adalah mempengaruhi kemauan orang lain sedemikian rupa,
sehingga ia menghendaki atau menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak dipilih
oleh orang itu sendiri. Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang
tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ”ditanamkan” dalam dirinya dari luar,
tidak hanya dimanipulasi bahkan iklan dapat mempengaruhi konsumen dengan
memanfaatkan faktor-faktor psikologis seperti status, gengsi, seks.
Disini
perilaku konsumen di pengaruhi tapi tidak dimanipulasi. Kebebasan konsumen
tidak dihilangkan, jarang terdapat masalah etis, lebih banyak bisa muncul
masalah selera rendah (bad taste). Misalnya saja kasus yang terjadi pada
sejumlah produsen kecantikan memanfaatkan wajah model ayu untuk iklan. Demi
merangsang minat konsumen, tak jarang mereka nekat melakukan manipulasi wajah
sang model yang seolah cantik sempurna berkat produk yang dipasarkan.
Seperti
iklan NatureLuxe Mousse Mascara, yang mengklaim dapat melentikkan dan menambah
volume bulu mata hingga dua kali kondisi normal. Iklan itu menampilkan model
berparas ayu dengan penampilan bulu mata sesuai klaim. Mereka yang melihat
iklan tersebut mungkin akan mengira penampilan mata sang model berkat
NatureLuxe Mousse Mascara. Nyatanya, di sisi bawah iklan tersebut tertera
pernyataan dalam boks kecil bahwa bulu mata sang model yang tercipta dalam
gambar hasil permainan digital Photoshop.
Kemudian
iklan krim antipenuaan Lancome yang dibintangi Julia Roberts dan iklan krim
penutup noda Maybelline dengan model Christy Turlington. Produsen yang bernaung
di bawah nama besar L'Oreal itu menampilan wajah 'palsu' Julia Roberts dalam
iklan dua halaman di sejumlah majalah. Tim iklan nekat melakukan koreksi
digital sedemikian rupa untuk menghilangkan keriput, yang sebenarnya tampak
nyata di wajah sang bintang. Sementara tim iklan Maybelline sengaja melakukan
manipulasi dengan menyekat-nyekat bagian wajah sang bintang dengan maksud
menunjukkan perbandingan antara bagian yang memakai dan tidak memakai produk
itu. Bagian yang memakai produk dibuat mulus, sedangkan yang tidak memakai
terlihat keriput.
Melihat
hal tersebut Menteri Kesetaraan Inggris, Lynne Featherstone, meminta
produsen untuk jujur dalam mengiklankan produknya. Maka dalam kasus ini
dapat terlihat bahwa produsen memanfaatkan teknologi yang ada untuk
memanipulasi dan mempengaruhi konsumen untuk menggunakan produk yang
diiklankan. Namun dalam hal ini bukanlah masalah selera yang telah dijelaskan
sebelumnya, namun lebih kepada perilaku menyimpang yang dilakukan produsen yang
cenderung tidak mencermikan realitas dan kejujuran.
KASUS TENTANG ETIKA PASAR BEBAS
Ditolaknya Indomie di Taiwan
Akhir-akhir ini makin
banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama
menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan
luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam
pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk
berkembang mengikuti mekanisme pasar.
Dalam persaingan antar
perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali
terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku.
Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari
Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang
tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang
mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan
pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang
terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic
acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk
membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan
untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di
Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan
produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini
mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX
DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa
(12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini
bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan
adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas,
seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di
dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam
benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan
tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam
pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal
0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi
manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa
benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam
mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih
dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar
nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per
kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain
kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius
Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan
Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan
Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan
di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di
antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
KASUS WHISTLE BLOWING
Contoh kasus di negara lain
Jeffrey Wigand adalah seorang Whistle Blower yang sangat terkenal di Amerika Serikat
sebagai pengungkap sekandal perusahaan The Big Tobbacoh. Perusahaan ini tahu bahwa rokok adalah produk yang gaddictivedan perusahaan ini menambahkan
bahan gcarcinogenic di dalam ramuan rokok tersebut.
Kita tahu bahwa gcarcinogenic adalah bahan
berbahaya yang dapat menimbulkan kanker. Yang perlu diingat bahwa Whistle
Blower tidak hanya pekerja atau karyawan dalam bisnis melainkan juga anggota di
dalam suatu institusi pemerintahan (Contoh Khairiansyah adalah auditor di
sebuah institusi pemerintah benama BPK).
Masih
ingat dalam ingatan kita nama Susno Duadji yang melaporkan dan mengungkap
tentang adanya mafia pajak dan skandal di tubuh kepolisian. Ia disebut-sebut
sebagai sang whistle blower. Lalu bagaimana respon penegak hukum melihat fenomena
tersebut? Pada perkembangan terakhir, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran
Mahkamah RI Nomor 4 Tahun 2011 memberikan terjemahan whistle blower sebagai
pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan
bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Sedangkan salah satu
pelaku tindak pidana tertentu, mengakui yang dilakukannya, bukan pelaku utama
dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam
proses peradilan disebut justice collaborator.