NAMA : FIFI ELLIN
NPM : 12210769
KELAS : 3EA13
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Mangkuprawira (2003) mendefinisikan
sumber daya manusia sebagai unsur produksi yang unik dibanding dengan unsur
produksi lainnya. Dikatakan unik karena memiliki unsur
kepribadian yang aktif, memiliki emosi, responsif, dan kritis terhadap
setiap fenomena yang dihadapinya. Dengan demikian memanfaatkan manusia sebagai
unsur produksi tidak dapat didekati dari pendekatan mekanis. Manusia tidak
dapat dipandang sebagai makhluk yang pasrah dan akan menerima
segala sesuatu tindakan yang dikenakan padanya.
Dessler (1997)
menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan serangkaian kebijakan
dan praktik yang dibutuhkan seseorang untuk menjalankan aspek “orang” atau
sumber daya manusia dari posisi seorang manajemen, meliputi perekrutan,
penyaringan, pelatihan, pengimbalan, dan penilaian. Sedangkan Stoner, J.A.F dan R.E.
Freeman (1994) menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia mencakup tujuh
kegiatan dasar yaitu perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen, seleksi,
sosialisasi, pelatihan serta pengembangan, penilaian prestasi, promosi,
pemindahan, demosi, dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Manajemen sumber daya manusia merupakan
suatu ilmu yang mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan
membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan, dan masyarakat (Hasibuan,
2001). Flippo (1994) mendefinisikan manajemen
sumber daya manusia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan serta
pengendalian dari pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, integrasi, dan
pemeliharaan tenaga kerja untuk tujuan membantu atau menunjang tujuan orang,
individu, dan sosial.
Berdasarkan
beberapa pendapat ahli diatas pada prinsipnya memiliki perumusan yang sama
terhadap pengertian manajemen sumber daya manusia. Manajemen sumber daya
manusia adalah suatu penerapan fungsi-fungsi manajemen yaitu fungsi-fungsi
perencanaan, pengorganisasian, penentuan staf serta kepemimpinan, dan
pengendalian. Sedangkan rumusan yang menekankan bahwa manajemen sumber daya
manusia merupakan suatu seni, disamping sebagai ilmu, mengandung arti bahwa
dalam mencapai tujuan yang diinginkan (organisasi), seorang pimpinan atau
manajer amat tergantung pada kemampuannya untuk mempengaruhi orang-orang yang
ada dibawahnya oleh sebab itu, sering dikatakan bahwa manajemen adalah seni
mempengaruhi orang lain (bawahan).
2.1.2 Prestasi Kerja Karyawan
Prestasi kerja adalah hasil pelaksanaan
suatu pekerjaan, baik bersifat fisik/material maupun non fisik/non material
yang dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan deskripsi pekerjaan perlu dinilai
hasilnya setelah tenggang waktu tertentu (Nawawi, 2005).
Menurut Hasibuan (2001) prestasi kerja
adalah suatu hasil kerja yag dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas
yang dibedakan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan
kesungguhan serta waktu.
Hasibuan juga menerangkan bahwa
prestasi kerja merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan
minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas,
serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi ketiga faktor
tersebut, maka akan semakin besar prestasi kerja karyawan yang bersangkutan.
Bernardin dan Russel diacu dalam
Ruky (2006) mendefinisikan prestasi sebagai suatu catatan tentang hasil-hasil
yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu selama kurun waktu
tertentu.
Suprihanto (2006) mengatakan bahwa pada
dasarnya prestasi kerja adalah hasil kerja seseorang dalam periode tertentu
dibandingkan dengan berbagai kemungkinan misalnya standar, target/sasaran atau
kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.
2.1.3 Penilaian Prestasi Kerja Karyawan
Pencapaian tujuan organisasi dilakukan oleh seluruh
anggota dengan melaksanakan tugas yang sudah ditentukan sebelumnya berdasarkan
beban dan volume kerja yang dikelola oleh suatu manajemen. Dalam melaksanakan
tugasnya, setiap anggota yang berfungsi sebagai bawahan perlu dinilai hasilnya
setelah tenggang waktu tertentu melalui suatu program (Istijanto, 2006).
Program/rangkaian usaha ini dapat dikatakan sebagai penilaian terhadap prestasi
kerja karyawan. Sementara Bernadin diacu dalam Ruky (2006) menyatakan
bahwa penilaian prestasi merupakan catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh
dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu
tertentu.
Menurut Nawawi (2005), pada hakekatnya penilaian prestasi
kerja karyawan yang merupakan kegiatan manajemen SDM adalah suatu proses
pengamatan (observasi) terhadap pelaksanaan pekerjaan oleh seorang pekerja yang
memiliki hak-hak asasi yang dilindungi. Menurut Hasibuan (2001) penilaian
prestasi kerja adalah menilai rasio hasil kerja nyata dengan standar kualitas
maupun kuantitas yang dihasilkan setiap karyawan, menetapkan kebijaksanaan
mengenai promosi atau balas jasanya.
Istijanto (2006) menjabarkan bahwa indikator/tolak
ukur/kriteria bawahan dalam melaksanakan pekerjaan terdiri atas beberapa aspek
yaitu kualitas kerja, tanggung jawab terhadap pekerjaan, kerja sama dengan
rekan kerja, orientasi terhadap pelanggan dan inisiatif karyawan.
Pada giliran berikutnya, hasil dari penilaian/pengukuran
prestasi kerja karyawan dapat dijadikan informasi yang berharga bagi para
manajer, misalnya dapat melihat apakah pekerja mengerjakan tugas yang sudah
menjadi tanggung jawabnya, memberikan gambaran tentang kekurangan dan kelebihan
pekerja dalam melaksanakan tugasnya, mengetahui keefektifan dan keefisienan
kontribusi pekerja terhadap organisasi, dapat dikaitkan dengan pengambilan
keputusan dan kebijakan manajer, dan dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan
organisasi/ perusahaan seperti pengembangan karir (promosi atau pemindahan),
suksesi dan kaderisasi, penyusunan program pengembangan dan pelatihan karyawan,
penetapan gaji/upah dan kompensasi tidak langsung, review strategi
bisnis dan lain-lain (Nawawi, 2005).
Menurut Hasibuan (2001), penetapan
penilai yang berkualitas harus berdasarkan syarat-syarat berikut:
1. Jujur, adil,
objektif mengetahui pengetahuan yang mendalam tentang unsur-unsur yang akan
dinilai agar penilaiannya sesuai dengan realitas/fakta yang ada.
2. Hendaknya
mendasarkan penilaian atas dasar benar/salah, baik/buruk terhadap unsur-unsur
yang dinilai sehingga hasil penilaiannya jujur, adil, dan objektif.
3. Harus
mengetahui secara jelas uraian pekerjaan dari setiap karyawan yang akan dinilai
agar hasil penilaiannya dapat dipertangunggjawabkan.
4. Harus
mempunyai wewenang formal agar penilai dapat melaksanakan tugas dengan baik.
2.1.4 Teori
Motivasi
Kata motivasi (motivation) kata
dasarnya adalah motif (motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan
seseorang melakukan sesuatu. Dengan demikian motivasi berarti suatu kondisi
yang mendorong atau menjadi sebab seseorang melakukan suatu perbuatan/kegiatan,
yang berlangsung secara sadar.
Sehubungan dengan uraian di atas, dapat
dibedakan dua bentuk motivasi kerja. Kedua
bentuk tersebut adalah sebagai berikut:
1) Motivasi Intrinsik adalah pendorong kerja yang bersumber
dari dalam diri pekerja sebagai individu, berupa kesadaran mengenai pentingnya
atau manfaat/makna pekerjaan yang dilaksankannya.
2) Motivasi Ekstrensik adalah pendorong kerja yang bersumber
dari luar diri pekerja sebagai individu, berupa suatu kondisi yang
mengharuskannya melaksanakan pekerjaan secara maksimal. Misalnya berdedikasi
tinggi dalam bekerja karena upah/gaji yang tinggi, jabatan/posisi yang
terhormat atau memiliki kekuasaan yang besar, pujian, hukuman dan lain-lain.
Lingkungan suatu organisasi/perusahaan terlihat
kecenderungan penggunaan motivasi ekstrinsik lebih dominan daripada motivasi
intrinsik. Kondisi itu terutama disebabkan tidak mudah untuk menumbuhkan
kesadaran dari dalam diri pekerja, sementara kondisi kerja di sekitarnya lebih
banyak menggiringnya pada mendapatkan kepuasan kerja yang hanya dapat dipenuhi
dari luar dirinya.
Manusia merupakan makhluk yang keinginannya tidak terbatas
atau tanpa henti, alat motivasinya adalah kepuasan yang belum terpenuhi serta
kebutuhannya berjenjang, artinya jika kebutuhan yang pertama terpenuhi maka
kebutuhan tingkat kedua akan menjadi yang pertama, dan berlaku seperti itu. Semakin tinggi
kedudukan seseorang dalam masyarakat dan organisasi maka akan semakin tinggi
faktor yang dirasakan menjadi kebutuhan orang tersebut.
2.1.4.1 Teori Maslow
Adapun hierarki
kebutuhan menurut Maslow adalah sebagai berikut (Hasibuan, 2001):
Gambar 1. Hierarki Kebutuhan Maslow
Sumber: Hasibuan, 2001
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan
kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya
dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya
dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat
klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan
intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena
manusia merupakan individu yang unik. Kebutuhan manusia itu tidak hanya
bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan
bahkan juga spiritual.
2.1.4.2
Teori Herzberg
Herzberg dikutip oleh Umar (1999) mengemukakan teori dua
faktor atau sering disebut sebagai Herzberg two factor motivation theory. Menurutnya
pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi dua faktor utama yang
merupakan kebutuhan, yaitu:
1) Maintenance Factor (faktor pemeliharaan atau
faktor higinis)
Menurut teori ini terdapat serangkaian kondisi ekstrinsik
yaitu keadaan pekerjaan yang menyebabkan rasa tidak puas di antara karyawan.
Kondisi ini adalah faktor yang membuat orang tidak puas, disebut juga higiene
factor, karena faktor tersebut diperlukan untuk mempertahankan tingkat yang
paling rendah, yaitu tingkat tidak ada kepastian. Faktor ini berhubungan dengan
hakikat pekerja yang ingin memperoleh kebutuhan (ketentraman) badaniah.
Kebutuhan ini akan berlangsung terus menerus, karena kebutuhan ini akan kembali
pada titik nol setelah dipenuhi. Faktor pemeliharaan ini meliputi balas jasa
(gaji dan upah), kondisi kerja, kebijakan serta administrasi perusahaan,
kepastian pekerjaan, hubungan antar pribadi (atasan dan bawahan), kualitas
supervisi, kestabilan kerja, dan kehidupan pribadi.
2) Motivation Factor (faktor motivasi)
Merupakan faktor motivasi yang menyangkut kebutuhan psikologis
yang berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang secara langsung
berkaitan dengan pekerjaan. Kebutuhan ini meliputi serangkaian kondisi
intrinsik, kepuasan kerja yang diperoleh dalam pekerjaan akan mendorong
motivasi yang kuat, yang dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik.
Faktor-faktor tersebut meliputi prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri,
tanggung jawab, kemajuan, pengembangan potensi individu, ruangan yang nyaman,
dan penempatan kerja yang sesuai.
2.1.5 Pengertian Motivasi Kerja
Menurut
Winardi (2001) motivasi adalah suatu kekuatan potensial yang ada dalam diri
seorang manusia, yang dapat dikembangkannya sendiri atau dikembangkan oleh
sejumlah kekuatan luar yang ada, intinya berkisar sekitar imbalan materi dan
imbalan non materi, yang dapat mempengaruhi hasil kinerjanya secara positif
atau secara negatif, dimana tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi
orang yang bersangkutan. Suatu dorongan jiwa yang membuat seseorang tergerak
untuk melakukan tindakan yang produktif, baik yang berorientasi kerja untuk
menghasilkan uang maupun yang tidak disebut motivasi kerja motivasi kerja yang
dimiliki seorang pekerja berbeda-beda tentunya, dan juga berubah-ubah.
Hasibuan (2001) mengungkapkan bahwa motivasi mempersoalkan
bagaimana caranya mengarahkan daya dan potensi agar mau bekerjasama secara
produktif untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditentukan, mau
bekerja dan antusias mencapai hasil yang optimal. Sedangkan Manullang (2000)
mendefinisikan motivasi sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh seorang manajer
memberikan inspirasi, semangat, dan dorongan kepada orang lain. Dalam hal ini
karyawan untuk mengambil tindakan-tindakan. Pemberian dorongan ini bertujuan
untuk menggiatkan karyawan agar mereka bersemangat dan dapat mencapai hasil
sebagaimana dikehendaki oleh orang tersebut.
2.1.6 Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Motivasi Kerja
Gellerman dikutip oleh Martharia (1999) menyatakan
bahwa faktor-faktor motivasi kerja yang paling kuat adalah terpenuhinya
kebutuhan dasar untuk mempertahankan hidup yaitu makan, minum, tempat tinggal,
dan sejenisnya. Kemudian kebutuhannya meningkat yaitu keinginan mendapatkan
keamanan hidup. Dalam taraf yang lebih maju, bila rasa aman telah terpenuhi
mereka mendambakan barang mewah, status, dan kemudian prestasi.
Untuk
meningkatkan kinerja pegawai, organisasi perlu melakukan perbaikan kinerja.
Dalam hal ini, menurut Furtwengler (2003) terdapat sejumlah faktor yang perlu
diperhatian oleh suatu organisasi di dalam melakukan perbaikan kinerja, yaitu
faktor kecepatan, kualitas, layanan, dan nilai. Selain keempat faktor tersebut,
juga terdapat faktor lainnya yang turut mempengaruhi kinerja pegawai, yaitu
keterampilan interpersonal, mental untuk sukses, terbuka untuk berubah,
kreativitas, terampil berkomunikasi, inisiatif, serta kemampuan dalam
merencanakan dan mengorganisir kegiatan yang menjadi tugasnya. Faktor-faktor
tersebut memang tidak langsung berhubungan dengan pekerjaan, namun memiliki
bobot pengaruh yang sama.
Menurut teori situasi kerja Stoner, J.A.F dan R.E. Freeman (1994), situasi kerja yang dapat mempengaruhi motivasi kerja
adalah:
a.
Kebijakan perusahaan, seperti skala upah dan tunjangan pegawai (cuff,
pensiun dan tunjangan-tunjangan), umumnya mempunyai dampak kecil terhadap
prestasi individu. Namun kebijaksanaan ini benar-benar mempengaruhi keinginan
karyawan untuk tetap bergabung dengan atau meninggalkan organisasi yang
bersangkutan dan kemampuan organisasi untuk menarik karyawan baru.
b.
Sistem balas jasa atau sistem imbalan, kenaikan gaji, bonus, dan promosi dapat
menjadi motivator yang kuat bagi prestasi seseorang jika dikelola secara
efektif. Upah harus dikaitkan dengan peningkatan prestasi sehingga jelas
mengapa upah tersebut diberikan, dan upah harus dilihat sebagai sesuatu yang
adil oleh orang-orang lain dalam kelompok kerja, sehingga mereka tidak akan
merasa dengki dan membalas dendam dengan menurunkan prestasi kerja mereka.
c.
Kultur organisasi, meliputi norma, nilai, dan keyakinan bersama anggotanya
meningkatkan atau menurunkan prestasi individu. Kultur yang membantu
pengembangan rasa hormat kepada karyawan, yang melibatkan mereka dalam proses
pengambilan keputusan dan yang memberi mereka otonomi dalam merencanakan dan
melaksanakan tugas mendorong prestasi yang lebih baik dari pada kultur yang
dingin, acuh tak acuh, dan sangat ketat.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
terlihat bahwa secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
kerja sangat bervariasi. Namun secara umum faktor-faktor tersebut dapat
dikelompokan menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal
adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kerja, yang datangnya
dari dalam diri seseorang. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi motivasi kerja yang bersumber dari lingkungan kerja
perusahaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar